Sabtu, 15 Juni 2013

BUDAYA PELAYANAN



Satu


Membudayakan sikap pelayanan yang Senyum, Salam, Sapa, Sopan, dan Santun,  tak cukup dengan kata kata,  himbauan,  perintah seperti hampir disetiap tempat/ lobi kantor pelayanan terpampang ke lima kata tersebut bahkan  ilustrasi sukses untuk melakukan ke lima hal telah lama ditulis dalam buku kecil oleh KH Abdullah Gymnastiar yaitu 5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, dan Santun). Cara  ini juga pernah dilakukan pada pelatihan magang pegawai untuk membiasakan  diri setiap bertemu dengan teman, panitia dan pengajar, atau siapapun dalam lingkungan kampus wajib hukumnya  melaksanakan 5 S.

SENYUM : Membiasakan tanpa motif untuk menggerakkan sedikit raut muka berikut  bibir agar orang lain atau lawan bicara merasa nyaman, bukan perkara mudah lebih lebih dalam organisasi pemerintahan. Perlu pembiasaan, motivasi dan keikhlasan walaupun perintah agama mengajarkan kepada kita Senyum adalah ibadah yang paling mudah dan murah. SALAM : ucapan Assalamu'alaikum yang sudah mengindonesia sepertinya jarang dilakukan oleh terutama umat Islam ketika bertemu dengan orang lain yang belum pernah kita kenal sebelumnya, atau Selamat Pagi/Selamat Siang atau Selamat Malam. Bukankah kewajiban kita pelayan/pos terdepan/ yang empunya rumah untuk mengucapkan salam terlebih dahulu sebelum orang lain melakukan serupa dan bukankah persaudaraan berawal dari salam. SAPA  : Tegur sapa ramah yang kita ucapkan  membuat suasana menjadi akrab dan hangat, dan lawan kita bicara merasa diorangkan/dihargai (di ewongke), Ada yang dapat saya bantu!!!, atau kata kata hangat dan akrab yang lain. SOPAN  dan SANTUN merupakan, gerak, kata dan tindakan kita untuk menghargai orang lain. Dengan cara gerak tindakan dan ucapan yang sopan dan santun kita,  membuat orang lain merasa dihargai. 

Dalam budaya Jawa perilaku pelayanan di atas  dikenal terminologi  GUPUH, LUNGGUH dan SUGUH. Gupuh diartikan sebagai sikap hangat menerima tamu. Orang bertamu tentu telah berkorban setidaknya waktu dan tenaganya. Wajar jika, tamu itu dihormati dengan sikap baik. Oleh karena itu, apapun yang kita kerjakan selayaknya ditinggalkan dulu untuk menyambut tamu. Kita tunjukkan sikap bahwa tamu itu begitu penting bagi kita. Lungguh (duduk); artinya sikap ramah / familiar ditunjukan untuk mempersilahkan duduk  sebelum menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan tamu. Sikap hangat itu masih ditambah dengan ungkapan-ungkapan hangat dan ringan seperti “ Senang sekali Anda berkunjung ke gubuk kami", "Kapan datang" atau ungkapan ungkapan lainnya yang familiar. Sedangkan Suguh tidak harus menyediakan makanan atau minuman tetapi lebih dari itu suguhan percakapan/pembicaraan yang ramah jauh lebih penting. 

Budaya pelayanan di atas secara simbolis maupun ditunjukan perilaku lebih banyak dilakukan pada jasa Perbankan  dan Perhotelan dibanding dengan instansi pemerintahan pada umumnya, hal ini nampak ketika kita masuk ke ruang lobi hotel atau bank. Ruang Tamu/Lobi tertata apik/nyaman segar dan ketersediaan ruang tunggu / tempat duduk yang nyaman, ada well come drink atau paling tidak sekedar permen lebih lebih kesigapan petugas menyambut kita. Sementara di instansi pemerintah walaupun dengan kata kata himbauan atau perintah bahkan pelatihan pun dilakukan, namun belum nampak perubahan yang berarti. Kenapa budaya pelayanan belum dapat berkembang dengan baik di beberapa  instansi pemerintahan?

Dua

Budaya birokrasi dimaknai sebagai sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang diinternalisasikan ke dalam pikiran yang diaktualisasikan ke dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam organisasi (baca organisasi pemerintahan), yang dinamakan birokrasi. Dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu berelasi dengan budaya masyarakat dengan dinamika yang terjadi di dalamnya, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial, maupun ekonomi dan corak hubungan paternalisme sangat kental dalam determinasi pelayanan publik

Dalam konteks  pelayanan publik, corak paternalisme memiliki 2 (dua) dimensi yaitu : Pertama, hubungan paternalisme antar aparat birokrasi dengan masyarakat. Kedua, hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan dan bawahan dalam sebuah organisasi. Paternalisme yang pertama lebih menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan yang kedua lebih menekankan pada hubungan yang bersifat internal. Sifat mendua  dalam birokrasi ini tercermin dalam pemberian pelayanan publik, birokrasi memiliki orientasi nilai yang berbeda dan saling bertentangan. Pada satu sisi, birokrasi dituntut harus loyal kepada pimpinan dan pada sisi yang lain diharuskan untuk mengaktualisasikan prinsip abdi masyarakat, yaitu sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat dan harus mementingkan masyarakat yang dilayaninya. Dalam banyak kasus loyalitas kepada pimpinan jauh lebih penting daripada tuntutan masyarakat terhadap pelayanan.

Menempatkan posisi seimbang antara loyalitas kepada pimpinan disatu pihak dan tuntutan masyarakat atas pelayanan dipihak lain sangat bergantung pada Mentalitas Pegawai. Mentalitas ini suatu keadaan mental, (pikiran/ rohani/batin/jiwa), watak, tabiat atau metode berpikir yang dimiliki aparat yang mempengaruhi pola kerja melalui hubungannya dengan lingkungan dimana ia bekerja. Pola tindak, pola pikir aparat dalam melaksanakan pekerjaan  dapat mendorong aparat birokrasi bekerja secara optimal atau bahkan sebaliknya. 

Sikap mental pegawai dengan perilaku menyimpang merupakan cacat bawaan sejak awal menjadi pegawai termasuk pembinaannya sampai mengarah pada kecenderungan perbuatan koruptif disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
  1. Hubungan paternalistik dengan pola pembinaan intruksional seperti ungkapan ekstrim "Jadi pegawai tidak perlu kreatif yang penting patuh ". Menjadikan pegawai bersifat pasif, dan lebih baik pasif daripada salah atau dianggapnya gak patuh. Lebih lebih dengan  ketersediaan anggaran dan fasilitas membuat sikap mental yang tidak perlu susah payah mengelola aset aset negara apalagi memberi nilai tambah. Akibatnya muncul sikap mental yang berorientasi membelanjakan daripada menghasilkan.
  2. Menjadi pegawai merupakan pencarian status yang lebih tinggi daripada masyarakat awam, masuk dalam katagori priyayi/menak, sehingga menempatkan dirinya seperti ambtennar  yang memiliki hak-hak dan status yang di istimewa kan, akibatnya muncul sikap mental ingin dilayani daripada melayani.
  3. Motivasi menjadi pegawai bukan ingin mengabdi tetapi ingin mencari derajat, pangkat dan penghasilan yang layak. Akibatnya ketika bekerja pun sulit dihindari dari sikap mental  dan untuk memperolehnya dengan menggunakan cara apapun.  

Tiga 

Lalu bagaimana cara merubah sikap mental ini ya???

soeroto1@yahoo.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar